Peristiwa G30S, Mengapa Soeharto Tidak Diculik dan Dibunuh PKI?

Posted 01-10-2021 14:18  » Team Tobatimes

Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) masih menyimpan banyak misteri yang belum terungkap.

Salah satunya latar belakang dan dalang sebenarnya di balik peristiwa tersebut.

Ada yang meyakini bahwa Presiden ke-2 RI, Soeharto, punya peran dalam insiden 56 tahun lalu itu.

Bahkan dia diyakini sebagai orang yang berada di balik peristiwa G30S dan pembantaian ratusan ribu orang yang menyusulnya.

Sebab, meskipun Soeharto salah satu jenderal TNI saat itu, namun dia tidak diculik dan dibunuh oleh PKI seperti jenderal-jenderal lainnya.

Lalu, mengapa Soeharto tidak diculik dan dibunuh PKI?

Kesaksian Kolonel Latief

Soeharto disebut-sebut mengetahui akan rencana penculikan sejumlah jenderal yang diyakini sebagai Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta pada Presiden Sukarno.

Hal itu berdasarkan kesaksian salah satu pelaku yaitu Kolonel Abdul Latief dalam persidangan.

Dikutip dari buku John Roosa berjudul Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, Latief bersaksi bahwa ia memberi tahu Soeharto soal rencana penculikan sejumlah jenderal.

"Sehari sebelum kejadian itu saya melapor langsung kepada Bapak Mayjen Suharto, sewaktu beliau berada di RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat) sedang menunggui putranya yang ketumpahan sup panas. Dengan laporan saya ini, berarti saya mendapat bantuan moril, karena tidak ada reaksi dari beliau," kata Latief.

Tak hanya sekali, Latief bahkan sebelumnya pernah membahas soal isu adanya "Dewan Jenderal" di rumah Soeharto.

Latief bercerita lebih lanjut, la menyatakan bahwa ia juga sudah membicarakan masalah Dewan Jenderal dengan Suharto satu hari sebelumnya di kediaman Suharto di Jalan Haji Agus Salim.

Saat itu Soeharto masih menjabat sebagai Panglima Kostrad.

Pada pertemuan di rumah Soeharto itu Latief melaporkan adanya isu soal Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta.

Menurut Latief, Soeharto telah mengetahui hal itu dari mantan anak buahnya dari Yogyakarta yang bernama Subagiyo.

"Tanggapan beliau akan dilakukan penyelidikan," kata Latief.

Soeharto dianggap loyalis Bung Karno

Sementara itu dalam kesaksiannya kepada Mahkamah Militer, Latief membeberkan alasannya tidak memasukkan nama Soeharto dalam target penculikan.

"...karena kami anggap Jenderal Soeharto loyalis Bung Karno, maka tidak kami jadikan sasaran," kata Latief seperti dikutip dari buku Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan, dan Petualang (2010).

Tak cuma itu, Latief bahkan melapor ke Mayjen Soeharto yang kala itu menjabat sebagai Panglima Komando Strategis Angkatan Darat.

Langkah ini dilakukan Latief setelah laporannya tak ditanggapi oleh Pangdam Jaya Mayjen Umar Wirahadikusumah dan Pangdam Brawijaya Mayjen Jenderal Basoeki Rachmat.

Latief mengaku sudah beberapa kali mewanti-wanti adanya upaya kudeta oleh Dewan Jenderal.

Menurut Latief, Soeharto hanya bergeming mendengar informasi itu. Bahkan di malam 30 September 1965, Soeharto mengabaikan Latief yang menyampaikan rencananya menggagalkan kudeta.

Soeharto sendiri mengakui dia bertemu dengan Latief menjelang peristiwa G30S. Namun dia memberikan kesaksian yang berganti-ganti.

Jawaban Soeharto

Dalam wawancara dengan Der Spiegel pada 19 Juni 1970, Soeharto mengaku ditemui di RSPAD Gatot Subroto oleh Latief pada malam 30 September 1965.

Soeharto tengah menjaga anak bungsunya, Hutomo Mandala Putra alias Tommy yang dirawat karena luka bakar akibat ketumpahan sop panas.

Namun katanya, Latief tidak memberi informasi apa-apa, malah akan membunuhnya saat itu juga.

"Dia justru akan membunuh saya. Tapi karena saya berada di tempat umum, dia mengurungkan niat jahatnya itu," kata Soeharto.

Namun dalam otobiografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1988), Soeharto mengaku hanya melihat Latief dari kejauhan dan tak sempat berinteraksi.

Soeharto menjadi pahlawan setelah ramainya peristiwa G30S. PKI dianggap sebagai dalang. Sementara itu Soekarno tidak melakukan apa-apa.

Masyarakat sipil, mahasiswa, dibantu tentara, menggelar berbagai demonstrasi besar-besaran menuntut PKI dibubarkan dan ekonomi diperbaiki.

Buntut dari peristiwa G30S yaitu pada 11 Maret 1966. Soeharto yang saat itu menjabat Panglima Angkatan Darat meminta Soekarno memberi kuasa untuk mengatasi keadaan.

Permintaan itu kemudian disebut sebagai Supersemar (Surat Perintah 11 Maret). Peristiwa itu menjadi jalan Soeharto menjadi presiden selanjutnya menggantikan Soekarno.

Selanjutnya Soeharto menumpas PKI. Setidaknya 500.000 orang yang dituduh PKI atau simpatisannya, dihabisi di berbagai penjuru Indonesia.

Ada juga yang dipenjara selama puluhan tahun seperti Latief, yang merasa dikhianati oleh Soeharto.

"Jadi siapa yang sebenarnya telah mengakibatkan terbunuhnya para jenderal tersebut? Saya yang telah memberi laporan lebih dulu kepada Jenderal Soeharto? Atau justru Jenderal Soeharto, yang sudah menerima laporan tetapi tidak berbuat apa-apa?" kata Latief dalam kesaksiannya.

Dia juga mengatakan sama sekali tidak ada langkah-langkah untuk menambah penjagaan.

"Sebaliknya, setelah Peristiwa G30S meletus, selain menghantam G30S dan juga membantai ribuan rakyat yang sama sekali tidak tahu apa-apa, mereka bertiga (Soeharto, Umar Wirahadikusumah, dan Basuki Rachmat) kemudian malahan bersama-sama menggulingkan pemerintahan Presiden Sukarno," ujar Latief.

Seputar peristiwa G30S

Peristiwa G30S sendiri awalnya dipicu dari kabar adanya sekelompok jenderal atau Dewan Jenderal yang hendak mengudeta Presiden Soekarno.

Peter Kasenda dalam buku "Kematian DN Aidit dan Kejatuhan PKI" (2016) menulis, PKI mendapat informasi ini dari rekan mereka di militer yang merupakan simpatisan PKI.

Militer saat itu terbelah menjadi beberapa faksi yang saling memperebutkan pengaruh dan kekuasaan. Ada sebagian kecil yang simpati terhadap PKI.

PKI adalah salah satu partai yang cukup diperhitungkan saat itu. Kader-kadernya menduduki kursi dewan dan kursi pejabat.

Selain faksi militer yang simpati ke PKI, namun ada juga faksi-faksi yang justru anti terhadap PKI.

Ada militer yang setia kepada Sukarno, dan ada yang tidak. Dalam faksi yang tidak loyal inilah diyakini Dewan Jenderal bersarang.

Ideologi di dunia berkembang setelah Perang Dunia II berakhir pada 1945. Negara-negara pemenang saling bersaing memperebutkan pengaruh.

Persaingan yang dikenal dengan Perang Dingin ini membelah dunia menjadi dua. Ada Uni Soviet dengan paham komunisnya. Lalu ada Amerika Serikat dengan paham kapitalisnya.

Pada 1960-an, Sukarno dan PKI condong ke Uni Soviet dan antibarat. Dewan Jenderal diyakini sejalan dengan Amerika Serikat yang ingin menyingkirkan Soekarno.

Atas dasar keyakinan ini, para perwira militer yang loyal kepada Soekarno bergerak secara diam-diam untuk mencegah kudeta.

Para perwira militer itu antara lain Kolonel Abdul Latief (Komandan Garnisun Kodam Jaya), Letkol Untung (Komandan Batalion Pasukan Pengawal Presiden Cakrabirawa), dan Mayor Sujono (Komandan Resimen Pasukan Pertahanan Pangkalan di Halim).

Mereka didukung oleh Sjam Kamaruzaman, Kepala Biro Chusus (BC) PKI yang merupakan badan intelijen PKI. Daftar jenderal yang jadi sasaran disusun oleh Sjam bersama para perwira militer.

Para perwira militer itu berencana "menculik" para jenderal dan membawanya ke hadapan Presiden Sukarno.

Akan tetapi, rencana itu gagal total, karena tidak dilakukan dengan matang. Para jenderal malah dibunuh.

Dikutip dari Kompas