Media Sosial, Politik Post-Truth, dan Tantangan Kebangsaan
Selamat Datang di Era Post-Truth
Tentu banyak orang di belahan bumi ini terheran-heran, bagaimana mungkin Donald Trump, bisa menang dalam Pilpres AS 2016, mengalahkan Hillary Clinton, capres perempuan yang dalam tampilan publik terlihat lebih cerdas dan capable dalam mengelola pemerintahan dan mempertahankan posisi Paman Sam sebagai "pengendali dunia." Banyak pihak bertanya-tanya pula, bagaimana Inggris Raya yang ikut membidani lahirnya Uni Eropa, dalam referendum 2016, sebagian besar rakyatnya memilih untuk keluar dari persekutuan ekonomi itu, Brexit.
Apapun yang dikeluhkan para kritikus ataupun akademisi, kedua peristiwa historis tersebut telah terjadi dan melahirkan sebuah istilah populer baru dalam jagat perpolitikan, post-truth. Bahkan, oleh Oxford Dictionary kata tersebut pada tahun 2016 dinobatkan sebagai The Word of the Year. Andrey Miroshnichenko (2017) menjelaskan bahwa menurut Oxford, "post-truth" menggambarkan "keadaan di mana fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini dibandingkan daya tarik emosi dan keyakinan personal."
Pada 2016, kata ini digunakan hampir sebagian besar dalam hubungannya dengan reeferendum Inggris Raya untuk meninggalkan Uni Eropa dan pilpres AS. Dalam kedua kasus tersebut, fakta-fakta mapan, pengetahuan rasional, dan pengecekan-cekatan terbukti tak berguna. Jurnalisme yang mengedepakan akuntabilitas dengan standar mutunya dan keterikatan kepada fakta telah hilang. Semua narasi yang penting secara sosial kehilangan kredibilitasnya. Buruknya, keseluruan ide tentang kebenaran menjadi kabur.
Mobilisasi hal-hal bombastis yang tidak didukung oleh data-data faktual menjadi kegemaran para politisi atau lembaga think-tank mereka ketika berbicara atau berkampanye melalui media mainstream (baik cetak, radio, maupun televisi), media online, dan media sosial. Menurut Al-Rodhan (2017) dan Davies (2016) karakteristik politik post-truth adalah (a) mengaduk-aduk masyarakat dengan hal-hal yang bersifat emosional, (b) mengabaikan data dan fakta, (c) mengutamakan dan mem-viral-kan berita yang belum tentu kebenarannya atau palsu, (d) mengkombinasikan gerakan populis dengan teori-teori konspirasi yang masih butuh diuji lagi kebenarannya, (e) mobilisasi narasi fiktif tentang figur atau peristiwa tertentu, dan (f) memoles ketidakjujuran dalam membangun opini untuk memperkuat posisi sosial figur, kelompok, atau kepentingan tertentu dalam masyarakat yang semakin terbiasa dalam peradaban televisual, online, android, dan media sosial.
Secara historis, kondisi post-truth memang masih menyisakan perdebatan, khususnya terkait kebenaran itu sendiri. Dalam dunia posmodern, misalnya, kebenaran tidak bisa lagi diukur berdasarkan pendapat pakar atau kelompok tertentu. Kebenaran adalah sesuatu yang bersifat relatif dan subjektif karena kebenaran sebagaimana digambarkan oleh modernisme adalah sesuatu yang sejak kelahirannya bersifat Western-oriented. Sangat mungkin, cara pandang posmodern itulah yang menyeruak terkait kasus Brexit dan Trump. Bullaro (2017) mengatakan bahwa orang-orang yang berada dalam dua faksi politik tersebut lebih suka berbicara dari posisi posmodernis terkait subjektivitas.
Artinya, mereka memiliki opini mereka sendiri, tanpa memiliki sumber fakta karena mereka tidak percaya lagi kepada fakta atau kebenaran, selain karena fakta-fakta dan kebenaran-kebenaran versi mereka juga eksis. Bagi mereka, kebenaran mereka sendiri lebih benar ketimbang segala hal yang dikabarkan sebagai fakta dan slogan posmodernis usang, "persepsi adalah realitas", menang. Meskipun kebenaran memang bersifat relatif, tetapi mengabaikan kebenaran dengan mengaburkannya dengan fiksi dan narasi emosional jelas menjadi bahaya tersendiri karena akan menciptakan individu atau kelompok yang mudah sekali disulut atau membela kepentingan tertentu ketika ada mobilisasi informasi yang menyentuh atau menyulut emosi publik. Padahal mobilisasi tersebut belum tentu kebenarannya, tetapi biasanya menyinggung identitas atau keyakinan tertentu yang dianut kelompok sasaran kampanye informasi sepihak.
Berkembangnya politik post-truth juga tidak bisa dilepaskan dari kegagalan institusi atau organisasi politik dalam meyakinkan publik tentang permasalahan-permasalahan tertentu yang tengah menjadi isu-isu besar dalam masyarakat. Kondisi inilah yang menurut Paul Cho (2017) menjadikan politik desas-desus ala post-truth menjadi biasa. Lebih jauh ia menjelaskan, para politisi post-truth mengisi kurangnya kepercayaan publik dengan menuduh analisis kompleks dan mendalam yang dilakukan para pakar sebagai sihir yang ditujukan untuk membuat rakyat bingung. Selama Brexit, misalnya, para ekonom dikritik terlalu men-njlimet-kan masalah yang sederhana dan dicap sebagai peramal yang membual.
Kemampuan para politisi post-truth sebenarnya juga berjalin-kelindan dengan hasrat manusia untuk mencari pandangan yang sesuai dengan pandangan mereka dan kemudian mengambilnya untuk mendukung bias yang sudah ada sebelumnya. Media yang sedari awal tidak ingin kehilangan rezeki ekonomi, tidak berani mengambil risiko untuk kehilangan para pelanggannya. Kondisi tersebut menjadikan para politisi post-truth mendapatkan keuntungan untuk selalu muncul di depan publik melalui pemberitaan sembari menghindari pihak-pihak yang sejatinya memiliki pandangan "yang lebih bisa dipercaya."
Akibatnya, para politisi yang kontra dengan para demagog (pimpinan politik yang mencari dukungan dengan dengan mendekati hasrat dan prasangka populer alih-alih menggunakan argumen rasional) bisa mendapati usaha mereka berantakan karena "efek bumerang", sebuah kondisi di mana individu-individu yang menerima informasi yang kurang mengenakkan tidak serta-merta mau melawan pandangan mereka. Alih-alih, mereka akan mendukung opini awal yang sudah disebarkan oleh para demagog lebih kuat lagi. Penyebarluasan post-truth dan politisasinya sangat terbantu oleh teknologi terbaru, tak terkecuali media televisi, media internet, ataupun media sosial.
Menurut Pfafferott (2017), pemunculan istilah post-truth memang tidak bisa dilepaskan dari kekhawatiran pihak-pihak yang berada dalam kelompok "mapan," para penjaga kebenaran, yang mulai khawatir dengan kehadiran kelompok "populis" dalam gerakan sosial dan politik. Lebih jauh lagi ia mengatakan bahwa banyak politisi, jurnalis, intelektual berpengaruh, dan ilmuwan yang berada dalam kelompok mapan ini, di mana media tradisional seperti televisi, surat kabar cetak, dan radio menjadi instrumen pentingnya.
Apa yang harus diperhatikan adalah kebenaran itu bersifat dinamis dan selalu berada dalam ruang kontestasi; selalu dilawan dan ditafsir secara berbeda ketika berada dalam kehidupan masyarakat. Kebenaran politik yang dimapankan selama ini toh juga penuh kepentingan yang menguntungkan pihak-pihak tertentu saja. Itulah mengapa lahir gerakan politik populis yang menggunakan media baru seperti media online dan media sosial untuk mengampanyekan kepentingan mereka, meskipun harus menggunakan berita palsu atau mobilisasi berita yang mengaduk-aduk emosi publik.
Memang benar, bahwa kehadiran post-truth melalui bisa dibaca sebagai semakin semaraknya proses berdemokrasi dan bisa dikendalikan dengan munculnya kelompok mapan melalui media-media baru. Namun, apa yang harus dipikirkan adalah tingkat literasi masyarakat yang belum bisa sepenuhnya membaca berita atau informasi di media sosial secara kritis, sehingga seringkali malah mem-viral-kan apalagi kalau sesuai dengan pandangan politik mereka.
Apa yang perlu dicermati lebih jauh lagi adalah bahaya berkelanjutan yang akan terjadi dalam kehidupan masyarakat, bangsa, dan antarbangsa ketika kebenaran sudah bukan lagi menjadi orientasi bersama. Catatan "Editorial" The Star, 27 Desember 2016, menarik untuk dipahami. Hilangnya kepercayaan terhadap institusi-institusi yang memroduki kebenaran merupakan "bencana bagi sistem demokrasi." Memang, fakta saja tidak cukup. Dalam hal perubahan iklim, misalnya, tidak ada kebijakan yang secara otomatis dibuat. Namun yang terpenting adalah bagaimana kita mengimbangkan kebutuhan untuk hidup dengan generasi masa depan atau mengutamakan peningkatan ekonomi jangka pendek yang melawan fakta konsekuensi jangka-panjang degradasi lingkungan bergantung sepenuhnya di mana kita menempatkan prioritas. Fakta harus ditafsir melalui lensa moral.
Tanpa fakta, tidak ada debat demokratis. Jika kita merasa tidak bisa percaya apa yang dikatakan 98% ilmuwan tentang pemanasan global, kita akan rentan terhadap pengaruh demagog yang akan melawan semua bukti dan alasan perubahan iklim. Kondisi itu tentu sangat mengkhawatirkan karena demokrasi dan ilmu pengetahuan akan mengalami kemunduran secara global. Yang lebih mengerikan adalah, seperti apa yang dikatakan Hannah Arendt, "subjek ideal hukum totalitarian bukanlah Nazi yang meyakinkan atau komunis yang berdedikasi, tetapi orang-orang yang dalam pikirannya perbedaan antara fakta dan fiksi, benar dan salah, tidak lagi ada."
Budaya politik post-truth inilah yang tengah dan akan menjadi tantangan desain kebangsaan Indonesia, ketika jutaan warga semakin terbiasa dengan media sosial melalui android yang semakin terjangkau harganya. Banyak berita yang beredar di media online dan media sosial selama beberapa tahun terakhir memiliki kecenderungan untuk menggunakan pola-pola post-truth dan cenderung menggiring publik ke dalam permainan isu dan desas-desus yang mengabaikan kebenaran-kebenaran terkait permasalahan-permasalahan tertentu. Kehadiran dan ketenaran politik post-truth yang dimanfaatkan oleh individu-individu atau pihak-pihak tertentu bisa memunculkan ketidaksehatan kehidupan berbangsa yang berujung pada ketidakmenentuan sistem bernegara.
Politik Post-Truth dan Tantangan kebangsaan
30 September 2017 belum juga tiba ketika saya menulis tulisan ini . Namun, berita seputar kekejaman PKI (peristiwa 65 dan Madiun 48) di bermacam media online tanah air serta bombardir status medsos--facebook, twitter, instagram, path, grup WA, dan lain-lain--yang meminta masyarakat, khususnya umat Islam, mewaspadai kebangkitan partai berlambang palu arit ini dengan beragam justifikasi naratif menciptakan menimbulkan suasana yang seolah-olah genting.
Yang sangat khas dari booming PKI di media sosial dan media daring adalah pernyataan dan berita terkait bahaya laten komunis, kebangkitan komunis, 60 juta pengikut PKI, kekejian PKI pada para jendral, komunis musuh umat Islam, komunis tidak mengakui Pancasila, kekejaman PKI di peristiwa Madiun, rezim Jokowi dipengaruhi kekuatan komunis, dan yang lain. Anehnya mobilisasi wacana tersebut dilakukan ketika TAP MPRS No. 25 1966 tentang pelarangan penyebaran ideologi komunisme di Indonesia belum dicabut, sehingga kalaupun ada kebenaran informasi tentang kebangkitan PKI semestinya aparat kepolisian dan militer bisa langsung menindak karena mereka memiliki kelengkapan struktur sampai tingkat kecamatan.
Ironisnya, ada pihak-pihak purnawirawan tentara (AD) yang ikut menyebarluaskan informasi seputar bahaya bangkitnya PKI di media sosial. Tentu saja, kita bisa melihat adanya target khusus dari penyebarluasan informasi tersebut, seperti untuk meningkatkan sentimen emosional pengguna media sosial dan menjadikan mereka abai terhadap fakta-fakta lain terkait peristiwa 65, misalnya pembunuhan massal terhadap anggota, simpatisan, atau yang dituduh terlibat PKI dan siapa dalang itu semua.
Kemampuan mengaduk-aduk anggota dalam sebuah grup WA, misalnya, dengan sentimen kebencian yang terus dipelihara sejak rezim Orde Baru hingga saat ini tentang kekejaman PKI tanpa menghadirkan wacana atau pengetahuan pembanding, mendorong berkembangnya kesepakatan terhadap kebenaran yang melampaui kebenaran itu sendiri, sebuah post-truth, karena data-data historis terbaru tentang tragedi 1965 tidak lagi dianggap penting. Bahkan data-data dari lapangan terkait pembunuhan massal 65 dan penderitaan keluarga korban dianggap tidak relevan. Dengan mobilisasi wacana ke-PKI-an yang membabi-buta menjadikan hasrat untuk berpengetahuan secara rasional terabaikan.
Yang saya maksudkan hasrat untuk berpengatuan secara rasional adalah bahwa semestinya bangsa ini menumbuhkan keinginan untuk membuka "sisi gelap" sejarah 65 yang berdasarkan temuan analisis yang lebih beragam, bukan hanya mengandalkan pengaburan wacana historis sebagaimana dilakukan rezim Orba yang menjadikan fakta pembantaian massa tidak diajarkan kepada para pewaris Republik ini. Berapa jumlah korban sebenarnya dari pembantaian tersebut, sampai sekarang masih simpang siur (Tempo, 18 April 2016), sehingga secara akademis perlu untuk ditemukan kejelasannya agar masyarakat tahu secara lebih komprehensif tragedi ini.
Sayangnya, hasrat berpengetahuan sebagian penggiat sejarah atau aktivis kemanusiaan yang semestinya bisa menjadi sarana untuk menyebarluaskan informasi faktual terkait tragedi 65 guna melengkapi dan memperluas perspektif masyarakat malah dituduh ingin membangkitkan-kembali komunisme. Bahkan, di media sosial dan media online heboh pernyataan Panglima TNI soal perintah menonton bareng film G 30 S/PKI atau berita tentang adanya institusi yang mengimpor 5 ribu senjata atas nama Presiden Joko Widodo lebih menarik untuk diikuti dan disebarluaskan ketimbang mengutuk keras pembubaran acara seminar akademis terkait 65 di LBH Jakarta yang jelas-jelas telah membunuh nalar intelektual bangsa ini atau ketimbang menemukan kepentingan sebenarnya di balik mobilisasi tersebut (Heryanto, 2016).
Apa yang tidak dipikirkan adalah betapa usaha-usaha konstruktif untuk rekonsiliasi tragedi 65 yang melibatkan pihak-pihak yang pernah terlibat menjadi berantakan dengan mobilisasi wacana tersebut. Adalah sebuah warisan yang buruk bagi generasi mendatang ketika mereka harus mendapatkan informasi sepihak yang berasal dari warisan rezim militeristik Orde Baru yang diyakini dan diteruskan sampai dengan saat ini.
Perkembangan terkini di Indonesia terkait politisasi tragedi 65 dan peristiwa-peristiwa lain seperti gerakan 212 berbasis informasi penistaan agama oleh Ahok yang mengaduk-aduk sisi emosional masyarakat, khususnya mayoritas yang bersepakat dengan isu-isu yang dihembuskan oleh figur penting atau kelompok tertentu di tanah air, menunjukkan betapa peradaban politik bangsa ini sudah masuk ke dalam era "politik post-truth," politik pasca-kebenaran.
Keunggulan media sosial yang dengan cepat bisa menyebarkan informasi tertentu ke jutaan manusia di sebuah negara, atau bahkan antarnegara, menjadikannya piranti baru yang berperan penting dalam perkembangan politik post-truth di era peradaban digital dan internet dewasa ini. Kecanggihan dan kecepatan media sosial dalam menyebarkan sebuah informasi, terlepas benar atau tidaknya, seringkali menjadikannya 'rujukan pertama' bagi para pengguna, ketimbang media online, apalagi cetak yang semakin sepi peminatnya saat ini.
Kelihaian dalam memilih kalimat, kata, ungkapan, dan gambar yang bombastis menjadikan status yang dibuat seseorang atau kelompok tertentu di media sosial akan menyebarluas dan dalam sekejap menjadi viral, apalagi kalau berkaitan dengan isu-isu politik atau SARA yang mengendap dalam alam bawah sadar masyarakat. Tidak terhitung lagi, berita terkait perpolitikan nasional yang dimainkan melalui budaya politik post-truth, sehingga kita yang semestinya mengembangkan rasionalitas, menjadi bingung dan ragu harus bagaimana menyikapi trend tersebut. Bahkan, tidak sedikit intelektual yang terjebak dalam lingkaran berita yang diliputi "tabir kepalsuan", meminjam lagu Rhoma Irama.
Media sosial, sejatinya, memiliki fungsi-fungsi konstruktif dalam mengembangkan demokrasi dan memperkuat politik kebangsaan di sebuah negara. Selama revolusi Mesir, Januari-Pebruari 2011, media sosial seperti twitter, facebook, dan mailist group menjadi andalan mahasiswa dan rakyat untuk memperkuat wacana dan memperluas gerakan perlawanan untuk meruntuhkan rezim otoriter Housni Mubarak (Wilson, 2011; Alexander & Aouragh, 2014). Artinya, kecanggihan dan kecepatan media sosial bisa menjadi ajang konsolidasi demokrasi yang tidak bisa semata-mata mengandalkan pertemuan langsung karena ketatnya kontrol rezim negara terhadap aktivitas politik warganya (Li, Lee, & Ying Li, 2016).
Sentimen kebangsaan bisa terus dipupuk melalui media sosial, khususnya melalui event-event olahraga, tagar solidaritas bencana alam, status kebhinekaan, ekspose keberhasilan pembangunan, dan yang lain. Bahkan, dalam banyak kasus, media sosial sekarang digunakan untuk memromosikan kekayaan pengetahuan, teknologi, dan budaya lokal/pribumi masyarakat di tengah-tengah menguatnya budaya global (Owiny, Mehta, & Maretzki, 2014), yang tentunya bisa menumbuhkan sense of solidarity dan sense of belonging para pengguna android terhadap kekuatan bangsanya.
Dalam lingkup Indonesia, misalnya, banyak kaum muda yang menjadikan media sosial untuk memromosikan kekayaan budaya lokal dan pesona alam daerah mereka masing-masing. Inisiatif-inisiatif yang tumbuh di wilayah lokal ini menandakan bahwa sebagai bagian tak terpisahkan dari proses globalisasi, kaum muda itu mampu memanfaatkan dan memaksimalkan peradaban android melalui media sosial untuk menyebarluaskan kekayaan alam dan dinamika budaya lokal yang masih eksis. Cara tersebut memang tidak bombastis, tetapi mampu menjadi kekuatan soft diplomacy yang terbukti efektif. Demikian pula dalam hal solidaritas bencana, media sosial memainkan peran cukup signifikan karena kecepatannya mampu menggiring rasa empati publik dan bisa segera mengumpulkan donasi untuk meringan penderitaan para korban.
Sangat disayangkan ketika budaya politik post-truth menjadi lebih dominan dan menggeser peran strategis media sosial. Diakui atau tidak, bangsa ini memang masih menyimpan banyak permasalahan yang bisa dikomodifikasi oleh individu atau kelompok tertentu untuk kemudian diledakkan melalui viral di media sosial. Persoalan SARA, misalnya, bisa setiap saat dimanfaatkan untuk "memobilisasi kecemasan dan ketakutan" komunitas tertentu apabila individu atau kelompok yang berbeda dalam hal agama atau suku berkuasa. Mobilisasi semacam itulah yang, pada akhirnya, akan me-recall sentimen identitas yang menjadi struktur dalam sebuah komunitas, karena sama-sama merasakan keterancaman yang sebenarnya diintrodusir melalui bermacam informasi.
Di era post-truth, gerakan politik identitas yang semestinya bisa menjadi kekuatan konstruktif untuk melawan penindasan kekuatan dominan yang ingin mengeksploitasi kekayaan alam sebuah negara dan daerah atau memarjinalkan komunitas tertentu (Walter, 2010; Wane, 2009; Wilkes, 2006; Windborne, 2006; Todd, 2003), berubah menjadi kekuatan destruktif untuk memusuhi sesama anak bangsa yang semestinya bahu-membahu mengatasi masalah perbedaan untuk memromosikan kesetaraan sebagai sebuah bangsa. Apa yang menakutkan adalah ketika budaya politik post-truth menjadi ajang bagi individu atau kelompok tertentu untuk mengeruk kepentingan ekonomi-politik mereka dan mengabaikan bangunan kebangsaan.
Politik post-truth menjadikan komunitas, masyarakat, dan bangsa rentan terhadap mobilisasi kepentingan yang sejatinya bukan untuk memberdayakan kebangsaan. Kecenderungan yang terjadi adalah memelihara dendam, kecemasan, dan ketakutan yang akan menghalangi perwujudan persatuan nasional. Sayangnya, yang diuntungkan dari keadaan ini bukanlah warga atau rakyat, tetapi kelompok-kelompok kepentingan yang memiliki kekuatan untuk menggerakkan dan memobilisasi bermacam informasi tendensius.
Di sinilah, peran penting Negara dan Wakil Rakyat dibutuhkan, khususnya dalam tetapi menelorkan UU dan kebijakan yang berujung pada penguatan literasi publik. Manusia-manusia akademis, pegiat LSM, dan para aktor di masyarakat perlu terus menyebarluaskan gerakan literasi, baik gerakan membaca, menulis, ataupun media literacy. Gerakan literasi merupakan salah alternatif untuk mengurangi dampak buruk politik post-truth bagi Indonesia. Selain itu, organisasi-organisasi mahasiswa bisa mulai membuat komunitas analitis terhadap kecenderungan arah media sosial untuk kemudian menyebarluaskan hasil analsis mereka ke publik yang lebih luas. Menggunakan media sosial untuk menyerang-balik politik post-truth bisa dilakukan oleh para intelektual, anggota LSM, atau para pelaku di tengah-tengah rakyat dengan cara memberikan informasi atau pengetahuan yang lebih komprehensif kepada publik.
* Tulisan ini dikembangkan dari makalah yang disampaikan dalam Serap Aspirasi Masyarakat Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan tema "Tantangan Media Sosial dan Persatuan Bangsa", yang diselenggarakan HMI Komisariat Ekonomi UNEJ, Jember, 23 September 2017.
Rujukan
Alexander, Anne & Miriyam Aouragh. (2014)."Egypt's Unfinished Revolution: The Role of the Media Revisited." International Journal of Communication, 8, 890--915.
Al-Rodhan, Nayef . (2017). "Post-truth Politics, the Fifth Estate, and the Securitization of Fake News", Global Policy Journal, http://www.globalpolicyjournal.com/blog/07/06/2017/post-truth-politics-fifth-estate-and-securitization-fake-news.
"Berapa Sebenarnya Korban Pembantaian Pasca G 30 S 1965", Tempo, 18 April 2016, https://nasional.tempo.co/read/763665/berapa-sebenarnya-korban-pembantaian-pasca-g30s-1965#EoV6yjokBP2hBprQ.99 .
Bullaro, G. R. (2017). "Donald Trump and the Era of Post-Truth", http://www.lavocedinewyork.com/en/news/2017/05/18/donald-trump-and-the-era-of-post-truth/.
Cho, Paul . (2017). "Technology and Its Role in the Post-Truth World", http://www.foxhedgehog.com/2017/03/technology-and-its-role-in-the-post-truth-world/.
Davies, William . (2016). "The Age of Post-Truth Politics, New York Times", https://www.nytimes.com/2016/08/24/opinion/campaign-stops/the-age-of-post-truth-politics.html?mcubz=3.
Heryanto, Ariel . (10 Mei 2016). "Kapan Kambuhnya Bahaya Komunis?", CNN Indonesia, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160510094659-21-129620/kapan-kambuhnya-bahaya-pki/.
"Lessons from the Year of Post-Truth Politics," The Star, December 27, 2017, https://www.thestar.com/opinion/editorials/2016/12/27/lessons-from-the-year-of-post-truth-politics-editorial.html.
Li, Xueqing , Francis L.F. Lee, and Ying Li. (2016). "The Dual Impact of Social Media Under Networked Authoritarianism: Social Media Use, Civic Attitudes, and System Support in China." International Journal of Communication, 10, 5143--5163.
Miroshnichenko, Andrey . (2017). "The post-truth world: how social media destroy the absolutism of the "objective" truth", Human as Media, https://human-as-media.com/2017/02/22/the-post-truth-world-how-social-media-destroy-the-absolutism-of-the-objective-truth/.
Owiny, Sylvia A. , Khanjan Mehta, & Audrey N. Maretzki. (2014), "The Use of Social Media Technologies to Create, Preserve, and Disseminate Indigenous Knowledge and Skills to Communities in East Africa." International Journal of Communication, 8, 234-247.
Pfafferott, Cora . (2017). "Post-Truth Convenient Lies," http://www.zocalopublicsquare.org/2017/01/09/post-truth-convenient-lie/ideas/nexus/.
Maggie Walter. (2010). "Market Forces and Indigenous Resistance Paradigms", Social Movement Studies, 9(2), 121-137.
Wane, Njoki Nathani. (2009). "Indigenous Education and Cultural Resistance: A Decolonizing Project." Curriculum Inquiry, Vol. 39(1), 2009: 159-178.
Wilkes, Rima . (2006). "The Protest Actions of Indigenous Peoples: A Canadian-U.S. Comparison of Social Movement Emergence." American Behavioral Scientist, 50(4), 510-525.
Wilson, Christopher . (2011). "Digital Media in the Egyptian Revolution: Descriptive Analysis from the Tahrir Data Sets." International Journal of Communication, 5.
Windborne, Janice . (2006). "New Laws, Old Values: Indigenous Resistance to Children's Rights in Ghana." Atlantic Journal of Communication, 14(3): 156--172.
Todd, Anne Marie . (2003). "Environmental Sovereignty Discourse of the Brazilian Amazon: National Politics and the Globalization of Indigenous Resistance." Journal of Communication Inquiry, 27(4): 354-370.
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Media Sosial, Politik Post-Truth, dan Tantangan Kebangsaan", Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/dekajekita/61820d2406310e1cd0201903/media-sosial-politik-post-truth-dan-tantangan-kebangsaan?page=all
Kreator: Ikwan Setiawan
Kompasiana adalah platform blog, setiap konten menjadi tanggungjawab kreator.
Tulis opini Anda seputar isu terkini di Kompasiana.com