PN Tarutung Tidak Terima Permohonan, Ahli Waris “Pemilik Agros Balige” Ajukan PK langsung ke MA

Posted 08-03-2021 00:29  » Team Tobatimes
Foto Caption: Ilustrasi: Gedung MA

TOBA - Jumarar Napitupulu anak kandung sekaligus ahli waris dari Iskandar Napitupulu (pemilik tempat wisata Agros Balige) mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) secara langsung ke Mahkamah Agung (MA) di Jakarta pada tanggal 14 Februari 2019 lalu. Hal itu terpaksa dia tempuh karena Pengadilan Negeri (PN) Tarutung tidak bersedia menerima permohonannya.

Sesuai surat PN Tarutung No: W2.U6.95/Pdt/I/2019 tanggal 24 Januari 2019 kepada Jumarar, tidak diterimanya permohonan PK dimaksud, karena bundel-bundel berkas perkara tidak ada. Hanya ada fotocopy surat-surat yang berhubungan dengan perkara tersebut tersimpan di arsip perkara.

“Bundel perkara adalah arsip negara sehingga harus tersimpan baik dan benar di pengadilan. Kalau bundel perkara tidak ada dan yang ada hanya fotocopy, maka pertanyaannya adalah fotocopy itu darimana pula datangnya. Kalau fotocopynya ada maka tentulah aslinya juga harus ada,” sebut Jumarar Napitupulu di tengah perbincangannya dengan beberapa wartawan di Balige, Kamis (4/3).

Sengketa bermula pada tahun 1965 ketika Bistok Simatupang (penggugat asli) menggugat Huldrik Pardede (tergugat asli I) dan Iskandar Napitupulu (tergugat asli II) di Pengadilan Tarutung yang bersidang di PN Balige dalam Perkara No. 73/1965/Perdata/PN, terkait sebidang tanah di Pardede Onan Balige. Tanah yang telah dikuasai dan diusahai Iskandar Napitupulu sejak tahun 1942. Kemudian oleh Wedana Balige memberinya izin untuk mendirikan bangunan berjudul Surat Izin Mendirikan Rumah Kepada Iskander Marga Napitupulu, tanggal 4 Oktober 1947.

“Ayah saya diberi izin oleh Wedana Balige untuk mendirikan bangunan di atas tanah miliknya tahun 1947, membuktikan bahwa tanah itu benar milik ayah saya. Tetapi oleh Bistok Simatupang justru diklaim sebagai miliknya,” lanjut Jumarar.

Gugatan Bistok Simatupang ditolak PN Balige dalam putusan tertanggal 12 September 1966 , karena penggugat ternyata tidak dapat membuktikan gugatannya, alias tidak punya bukti sebagai pemilik tanah sengketa.

Kemudian penggugat melakukan banding sesuai perkara No : 278/Perd/1973/PT-MDN. Ditingkat banding, Pengadilan Tinggi (PT) Medan dalam Putusan tanggal 18 Oktober 1973 justru memenangkan Bistok Simatupang.

Atas putusan PT Medan itu, Huldrik Pardede dan Iskandar Napitupulu mengajukan kasasi sesuai perkara No: 403K/Sip/1974. Di tengah proses kasasi, sambungnya, PN Tarutung justru mengeksekusi tanah sengketa berdasarkan Berita Acara Menjalankan Isi Keputusan Hukum (Eksekusi-Vonnis) No : 73/Perdata/1965/Pn.Blg., tanggal 26 September 1986 (BA. Eksekusi, red). Padahal Iskandar Napitupulu belum menerima salinan putusan MA yang menurut PN Tarutung telah diputus pada tanggal 2 November 1976.

Lebih jauh Jumarar mengatakan bahwa eksekusi saat itu dilaksanakan dengan pengawalan sekitar 100 orang petugas berseragam ABRI, membuat ayah dan anggota keluarga lainnya tak berkutik alias pasrah.

Bertiupnya angin penegakan hukum di tengah era reformasi memicu Jumarar mengangkat kembali kasus ayahnya dengan cara mengajukan PK. Namun harus terpaksa mengajukan langsung ke MA di Jakarta, karena PN Tarutung tak menerima.

"PK saya ajukan dengan alasan adanya kehilapan hakim atau kekeliruan yang nyata, karena dari BA eksekusi itu saya ketahui kemudian, bahwa Pengadilan Tinggi Medan ternyata telah menjadikan gambar komisi sebagai pertimbangan hukumnya untuk memenangkan Bistok Simatupang. Padahal gambar komisi itu tidak pernah ada di dalam berkas perkara maupun di dalam pertimbangan hakim PN Balige. Sehingga memunculkan pertanyaan, darimana pula datangnya gambar komisi itu. Kenapa secara tiba-tiba ada di dalam berkas PT Medan. Ini harus diusut, siapa yang memasukkan gambar komisi itu ke dalam berkas perkara tingkat banding?," kata Jumarar sembari berharap agar MA mengabulkan PK yang diajukannya dengan menguatkan/ mempertahankan Putusan PN Balige No 73/1965/Perdata/PN tanggal 12 September 1966.

Selain tentang gambar komisi yang secara tiba-tiba muncul di tingkat banding, menurut Jumarar, hal lain yang kemudian menurutnya sebagai suatu hal ganjil adalah, karena ternyata tanah sengketa justru telah dijual Bistok Simatupang kepada Hasudungan Napitupulu pada tahun 1977. Dan kemudian oleh ahi waris Hasudungan Napitupulu (Johnson Napitupulu) menjual lagi kepada Pautan Simanjuntak pada Maret 2019.

“Sangat sulit diterima akal sehat, tanah masih bersengketa tapi bisa diperjualbelikan,” keluhnya.

Tentang berkas permohonan PK yang diajukannya secara langsung dan kemudian telah diterima MA tanggal 14 Januari 2019, menurut pria berusia 70-an tahun ini, PT Medan melalui Surat No.: W2.U/387/PW.07. 10/I/2016, tanggal 17 Januari 2020 telah memeriksa dirinya di gedung PT Medan pada hari Senin, tanggal 27 Januari 2020.

Mengakhiri perbincangannya, selain berharap kepada Ketua MA, Jumarar juga menggantungkan asanya kepada Presiden Republik Indonesia. “Saya berharap agar bapak Ketua MA dan bapak Presiden mendengar jeritan hati dan penderitaan saya ini," harapnya.

Dikutip dari Harian SIB