Skandal Pelecehan: Rektor Universitas Pancasila Dinonaktifkan dan Terancam Pidana

Posted 28-02-2024 10:09  » Team Tobatimes
Foto Caption: Rektor Universitas Pancasila, Edie Toet Hedratno alias ETH

Rektor Universitas Pancasila, Edie Toet Hedratno alias ETH, telah dinonaktifkan dan menghadapi ancaman pidana setelah dituduh melakukan pelecehan terhadap seorang mahasiswi.

Keputusan untuk menonaktifkan ETH diumumkan oleh kampus pada Minggu (25/2/2024) yang lalu.

ETH diduga melakukan pelecehan terhadap seorang mahasiswi.

Sejumlah mahasiswa Universitas Pancasila juga melakukan aksi demo sebagai bentuk protes terhadap perilaku asusial ETH.

"Sidang Yayasan telah dilakukan mulai dari hari Sabtu hingga Minggu di rumah Pak Agum Gumelar, dan pada hari Senin di kantor Pak Siswono," ungkap Sekretaris Yayasan Pendidikan dan Pembina Universitas Pancasila (YPPUP), Yoga Satrio, pada Selasa (27/2/2024).

Yoga menambahkan bahwa ETH dinonaktifkan dari jabatannya sebagai rektor sebelum masa jabatannya berakhir pada 14 Maret 2024.

"Tapi dengan keadaan yang seperti ini dan untuk mencegah kemungkinan masalah lebih lanjut, diputuskan untuk menonaktifkannya," tegasnya.

Yoga menyatakan bahwa pihak yayasan tidak ingin kasus pelecehan ini mempengaruhi akreditasi kampus.

"Kami sangat prihatin dengan kejadian ini karena Universitas Pancasila memiliki akreditasi yang baik dan hampir semua program studinya juga memiliki akreditasi yang baik."

"Kami sangat menyesal jika masalah seperti ini muncul dengan akreditasi yang begitu baik," tambahnya.

Pihak kampus berharap ETH akan bersikap kooperatif selama proses penyelidikan dan mengikuti semua prosedur yang berlaku.

"Beberapa waktu yang lalu, Pak Rektor sudah bertemu dengan yayasan. Yayasan meminta agar Pak Rektor bersikap kooperatif dan mengikuti proses yang dilakukan oleh kepolisian," ucapnya.

Sekarang setelah ETH dinonaktifkan, pihak kampus akan mendukung proses penyelidikan termasuk dengan memeriksa rekaman CCTV.

"Jadi, yayasan mendukung proses penyelidikan yang dilakukan oleh kepolisian. Ini adalah proses yang sedang berlangsung, jadi mari kita ikuti saja prosesnya," jelasnya.

Kedua korban, yang saat ini masih berstatus sebagai pegawai, tidak akan mendapat intervensi dari pihak kampus.

"Kami menjamin bahwa proses akan berjalan tanpa ada intervensi dari pihak manapun," katanya.

"Kami percaya bahwa polisi akan bertindak secara profesional, namun kita juga harus mengingat prinsip asas praduga tak bersalah. Ini hanyalah dugaan, belum tentu kebenaran," tegasnya.

Korban Mengalami Intimidasi

Korban yang dikenal dengan inisial RZ dan DF telah menjalani pemeriksaan psikologis di RS Polri Kramat Jati, Jakarta Timur, pada Selasa (27/2/2024).

Kuasa hukum korban, Yansen Ohairat, menyatakan bahwa pemeriksaan psikologis dilakukan untuk mendukung proses penyidikan.

Tim Psikiatri Forensik RS Polri Kramat Jati mengajukan sekitar 600 pertanyaan kepada kedua korban.

"Ada sekitar 600 pertanyaan yang dijawab. Hasilnya akan disampaikan nanti kepada penyidik," katanya, Selasa, seperti dilaporkan oleh TribunJakarta.com.

Menurut Yansen Ohairat, kasus pelecehan yang dialami oleh RZ dan DF telah menyebabkan trauma pada keduanya, sehingga mereka membutuhkan pendampingan psikologis.

"Hasil dari pemeriksaan psikologis ini merupakan informasi yang bersifat rahasia, sehingga kami tidak dapat memberikan rincian. Mungkin bisa berkoordinasi langsung dengan pihak Polda," ucapnya.

Ia menambahkan bahwa kedua korban akan mengajukan permohonan perlindungan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

"Langkah selanjutnya adalah kita akan bertemu dengan LPSK untuk membahas langkah-langkah perlindungan selanjutnya. Kondisi psikologis keduanya sangat terganggu," lanjutnya.

Sementara itu, RZ mengaku telah mengalami intimidasi setelah melaporkan kasus pelecehan kepada Polda Metro Jaya.

RZ menjadi korban pelecehan pada Februari 2023 dan baru melaporkan kejadian tersebut pada Februari 2024.

"Tidak ada ancaman, namun intimidasi lebih kepada ketidaknyamanan yang dihasilkan oleh proses yang berlangsung. Saya mendapat SP1 awal Februari 2024," ujarnya.

Ia tidak mengetahui alasan dari pihak kampus mengeluarkan SP1 kepada dirinya.

Delapan Saksi Diperiksa

Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Ade Ary Syam Indradi, mengatakan bahwa laporan dari DF telah dialihkan dari Bareskrim Polri ke Polda Metro Jaya.

"Tentu saja ada pertimbangan dari Mabes untuk melakukan pengalihan ini. Dalam proses penyelidikan atau penyidikan, terdapat beberapa tingkatan kemampuan."

"Beberapa kasus dapat ditangani oleh Polsek, Polres, Polda, hingga Mabes," paparnya, Selasa (27/2/2024), seperti dilansir oleh TribunJakarta.com.

Sebanyak delapan saksi telah diperiksa untuk mengungkap dugaan kasus pelecehan.

"Dalam LP (laporan polisi) dari saudari RZ, telah dilakukan pemeriksaan terhadap delapan saksi, termasuk korban," ujarnya.

Kombes Ade Ary menyatakan bahwa jadwal pemeriksaan terhadap ETH akan dijadwalkan ulang karena terlapor tidak dapat hadir pada waktu yang ditentukan.

Awalnya, Polda Metro Jaya berencana memeriksa ETH pada hari Senin (26/2/2024).

"Penundaan ini disebabkan karena pada hari yang sama, ETH memiliki jadwal kegiatan lain di kampus."

"Penyidik akan menjadwalkan kembali untuk pengambil

an keterangan yang akan dilakukan pada hari Kamis, 29 Februari 2024," jelasnya.

Hingga saat ini, terdapat dua laporan yang masih dalam proses dan polisi telah membuka layanan aduan bagi mahasiswa atau pegawai Universitas Pancasila yang menjadi korban pelecehan.

"Layanan pengaduan sudah tersedia, dengan nomor telepon gratis 110, masyarakat bisa menghubungi atau meminta bantuan polisi," ungkapnya.

Menurut Kombes Ade Ary, Polda Metro Jaya akan bekerja sama dengan pihak terkait untuk mengungkap kasus ini.

"Polda Metro Jaya akan bekerja sama dengan para pemangku kepentingan untuk menangani berbagai aduan ini," tandasnya.

Pernyataan Kuasa Hukum Rektor

Sebelumnya, kuasa hukum ETH, Raden Nanda Setiawan, menyatakan bahwa laporan yang dibuat oleh RZ terkesan tidak konsisten karena tidak didukung oleh bukti yang kuat.

Ia membantah bahwa kliennya terlibat dalam kasus pelecehan seksual, terutama karena kasus ini terjadi setahun yang lalu.

"Agak aneh bahwa laporan ini baru diajukan saat ini, di tengah proses pemilihan rektor yang baru," katanya pada Minggu (25/2/2024).

Menurut Raden, masyarakat harus menghormati asas praduga tak bersalah karena kliennya baru akan diperiksa.

"Kami harus menghormati prinsip praduga tak bersalah dalam menghadapi isu hukum yang berkembang. Saat ini kami sedang mengikuti proses atas laporan tersebut dan kami percayakan kepada pihak kepolisian untuk menangani masalah ini secara profesional," ucapnya.

Raden menegaskan bahwa ETH tidak pernah melakukan pelecehan seksual dan bahwa laporan yang dibuat oleh RZ terkesan tidak konsisten.

Meskipun setiap orang berhak untuk melaporkan, Raden menegaskan bahwa laporan tersebut tidak konsisten dengan fakta yang ada.

"Namun demikian, setiap orang memiliki hak untuk melaporkan. Namun, penting untuk diingat bahwa laporan palsu juga akan memiliki konsekuensi hukum," pungkasnya.